Wednesday, November 27, 2024

KEWAFATAN NABI SAW DALAM AL-QURAN – SATU MUKJIZAT

Sedia maklum bahawa Nabi SAW wafat pada usia 63 tahun. Dan baginda menjalani hidupnya dalam tiga fasa:

1. Sebelum diangkat menjadi rasul 40 tahun.

2. Berdakwah di Mekah 13 tahun

3. Meneruskan dakwah di Madinah 10 tahun.

(40+13+10 = 63)


Mari kita perhatikan ayat-ayat al-Quran yang mengandungi perkataan kewafatan baginda SAW: 

1. Surah Yunus, iaitu surah ke 10: 

“Dan jika Kami perlihatkan kepadamu (wahai Muhammad) akan sebahagian dari balasan azab yang Kami janjikan kepada mereka, atau jika Kami WAFATKAN ENGKAU sebelum itu, maka kepada Kamilah tempat kembali mereka; kemudian Allah yang memberi keterangan mengenai apa yang mereka lakukan.” (Yunus 10:46)

2. Surah ar-Ra’d, iaitu surah ke 13: 

Sama ada Kami perlihatkan kepadamu (wahai Muhammad) sebahagian dari azab yang Kami janjikan untuk mereka (yang ingkar) atau kami WAFATKANMU sebelum melihatnya maka tidaklah menjadi hal kerana tanggunganmu hanyalah menyampaikan hukum-hukum yang kami turunkan kepadamu; dan urusan Kami menghitung dan membalas amal mereka.” (Ar-Ra'd 13:40) 

3. Surah Ghafir, iaitu surah ke 40: 

“Maka bersabarlah (wahai Muhammad), sesungguhnya janji Allah (menyeksa musuh-musuhmu itu) adalah benar; oleh itu kiranya Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari azab yang Kami janjikan kepada mereka, ataupun Kami WAFATKANMU sebelum itu, (maka tetaplah mereka akan menerima balasan azab) kerana kepada Kamilah mereka akan dikembalikan.” (Ghaafir 40:77) 

(10+13+40 = 63)

Semuanya tersusun indah, tiada yang kebetulan. Itulah aturan Allah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.


Daripada page: https://www.facebook.com/EngKaheel


Wednesday, November 20, 2024

PERBANYAKKAN SUJUD

"Baru kali ini dalam hidupku mendengar informasi ini. 

Perbanyaklah sujud untuk memberi nutrisi pada bagian dahi (naṣīyah).

Apa itu naṣīyah dan mengapa disebut sebagai pembohong? 

Informasinya luar biasa, Subhanallah al-‘Azim!! 

Dari Syaikh/Abdul Majid al-Zindani. 

Semoga Allah memberinya kesembuhan dan kesehatan.

Dalam bukunya *Wa Ghadan Asr al-Iman* (Dan Besok, Zaman Keimanan), dia mengatakan:

Saya selalu membaca ayat Allah yang berkata, "Kalla, jika dia tidak berhenti, Kami pasti akan menyeretnya ke neraka, naṣīyah yang berdusta dan salah." (QS. Al-‘Alaq: 15)

Dan naṣīyah itu adalah bagian depan kepala, dan saya selalu bertanya-tanya dalam hati, "Ya Allah, buka padaku makna ini... Mengapa disebut naṣīyah yang berdusta dan salah?"

Saya merenunginya dan merasa bingung lebih dari sepuluh tahun, lalu saya kembali ke kitab-kitab tafsir dan mendapati para mufassir berkata: Yang dimaksud bukan naṣīyah yang berdusta, melainkan ini adalah ungkapan kiasan, bukan harfiah. Naṣīyah adalah bagian depan kepala, yang diberi sifat kedustaan (padahal yang dimaksud adalah pemiliknya).

Kebingunganku berlanjut sampai Allah memudahkan bagiku untuk menemukan sebuah penelitian tentang naṣīyah yang dipresentasikan oleh seorang ilmuwan Kanada (dan itu terjadi dalam sebuah konferensi medis yang diadakan di Kairo).

Dia berkata: "Baru lima puluh tahun yang lalu, kami mengetahui bahwa bagian otak yang ada di bawah dahi secara langsung (naṣīyah) adalah bagian yang bertanggung jawab atas kedustaan dan kesalahan serta menjadi sumber dalam mengambil keputusan. Jika bagian otak yang ada di bawah tulang dahi ini dipotong, maka pemiliknya tidak akan memiliki kehendak bebas dan tidak bisa membuat pilihan."

Karena bagian ini adalah tempat pilihan, Allah berfirman, "Kami akan menyeretnya dengan naṣīyahnya," artinya Kami akan mengambilnya dan membakarnya dengan kesalahannya. Setelah ilmu berkembang, mereka menemukan bahwa bagian naṣīyah pada hewan sangat kecil dan lemah (sehingga tidak memiliki kemampuan untuk memimpin dan mengarahkannya).

Dan ini yang dijelaskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala: "Tidak ada satupun makhluk yang tidak kami pegang naṣīyahnya." Dan dalam hadits yang shahih dikatakan: "Ya Allah, aku adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, anak dari hamba perempuan-Mu, naṣīyahku berada di tangan-Mu."

Untuk hikmah Ilahi, Allah memerintahkan agar bagian naṣīyah ini sujud dan tunduk kepada-Nya, sehingga beban negatif dalam kepala bisa keluar ke tanah dan darah bisa mengalir ke seluruh bagian otak untuk memberi nutrisi dengan energi positif yang dibutuhkan. Karena ada pembuluh darah kecil di otak yang hanya bisa menerima darah melalui sujud, ini adalah bagian dari hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan tidak ada yang kalian ketahui selain sedikit ilmu."

Ini adalah informasi yang sangat baik, yang mengajarkan kita untuk banyak sujud agar keputusan kita benar, dan yang terbaik adalah kita beribadah kepada Allah Yang Maha Esa, sehingga iman kita semakin kuat kepada-Nya.

Saat hendak melakukan sesuatu, kita lakukan salat istikharah, yakni sujudkan naṣīyah kita kepada Allah agar Dia memilihkan keputusan yang terbaik untuk kita. Semoga Allah meneguhkan hati kita dan hati kalian serta menjadikan naṣīyah kita jujur dalam segala kebaikan. Amin.

Ya Allah, jadikanlah ini sebagai sedekah jariyah bagiku, orangtuaku, keturunanku, serta bagi para mukminin dan mukminat, muslimin dan muslimat.

Sila sebarkan postingan ini."

PERBANYAKKAN

Saturday, November 16, 2024

Friday, November 01, 2024

MENCARI TITIK PERSAMAAN


Manusia sering berbeza pandangan antara satu sama lain. Namun, tidak bermakna tiada jalan pengelesaian dan persefahaman. Allah SWT mengajar kita, walau sebesar manapun perbezaan pandangan, carilah titik persamaan.

Allah SWT berfirman maksudnya:

Katakanlah (wahai Muhammad): "Wahai Ahli Kitab, marilah kepada satu Kalimah yang bersamaan antara kami dengan kamu, iaitu kita semua tidak menyembah melainkan Allah, dan kita tidak sekutukan denganNya sesuatu jua pun; dan jangan pula sebahagian dari kita mengambil akan sebahagian yang lain untuk dijadikan orang-orang yang dipuja dan didewa-dewakan selain dari Allah". Kemudian jika mereka (Ahli Kitab itu) berpaling (enggan menerimanya) maka katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah kamu bahawa sesungguhnya kami adalah orang-orang Islam". (A-li'Imraan 3:64) 

TITIK PERSAMAAN ANTARA SELURUH UMAT MANUSIA

Al-Quran menegaskan bahawa manusia seluruhnya tanpa mengira bangsa, bahasa, warna dan benua semuanya berasal daripada keturunan yang sama, iaitu Adam dan Hawwa.

Allah SWT berfirman maksudnya:

Wahai umat manusia! Sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari lelaki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu berbagai bangsa dan bersuku puak, supaya kamu berkenal-kenalan (dan beramah mesra antara satu dengan yang lain). Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu, (bukan yang lebih keturunan atau bangsanya). Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Mendalam PengetahuanNya (akan keadaan dan amalan kamu). (Al-Hujuraat 49:13) 

Oleh kerana mereka semua berasal daripada keturunan yang sama, maka tiada halangan untuk Allah jadikan mereka semua berada di atas satu jalan, menganut satu agama dan berfikir dengan cara fikir yang sama semuanya. Namun Allah tidak berkehendakkan begitu. maka perbezaan pendapat terus berlaku sebagaimana firman-Nya yang bermaksud:

“Dan kalaulah Tuhanmu (wahai Muhammad) menghendaki, tentulah Dia menjadikan umat manusia semuanya menurut agama yang satu. (Tetapi Ia tidak berbuat demikian) dan kerana itulah mereka terus-menerus berselisihan.” (Hud 11:118)

TITIK PERSAMAAN ANTARA SELURUH UMAT ISLAM

Terlalu banyak titik persamaan antara seluruh Umat Islam tanpa mengira dari mana asal mereka. Semuanya beriman kepada Tuhan yang Esa, mengikuti Rasul yang sama, berpegang kepada Kitab yang satu, mengadap kepada Qiblat yang sama. Musim haji menjadi bukti yang nyata kesatuan umat Islam dari seluruh pelusuk dunia yang terdiri dari pelbagai aliran kefahaman, pelbagai mazhab dan pelbagai kecenderungan.

Allah SWT berfirman maksudnya:

“Dan sesungguhnya agama Islam ini ialah agama kamu - agama yang satu asas pokoknya, dan Akulah Tuhan kamu; maka bertaqwalah kamu kepadaKu.” 

(Al-Mu'minuun 23:52) 

“Sesungguhnya agama Islam inilah agama kamu, agama yang satu asas pokoknya, dan Akulah Tuhan kamu; maka sembahlah kamu akan Daku.” 

(Al-Anbiyaa' 21:92) 

RASULULLAH SAW TIDAK BERTEGANG SELAGI WUJUDNYA TITIK PERSAMAAN

Setelah baginda mencapai persetujuan dengan Suhail bin Amru yang mewakili kaum Quraisy untuk mengadakan perdamaian atau genjatan senjata yang dikenali sebagai perjanjian Hudaibiah, baginda SAW memanggil Ali RA supaya menulis surat perjanjian: 

Baginda menyampaikan sendiri apa yang perlu ditulis patah demi patah kepada Ali. Baginda memulakan dengan:

Bismillahir-Rahmanir-Rahim…

Amru pantas membantah: Adapun ar-Rahman, demi Allah, kami tidak tahu apa maksudnya. Tetapi, tulislah Bismika-Allahumma…

Maka Nabi SAW menyuruh Ali RA menulisnya begitu. Baginda SAW seterusnya menyambung: “Ini adalah perjanjian damai yang telah dipersetujui oleh Muhammad Rasulullah… 

Sekali lagi Amru membantah dengan berkata: kalau kami tahu engkau adalah Rasulullah, pasti kami tidak menghalang engkau daripada mengunjungi Baitillah dan tidak memerangi engkau! Justeru, tulislah Muhammad bin Abdullah.

Baginda SAW bersabda: sesungguhnya aku adalah pesuruh Allah meskipun kamu mendustakanku. Maka baginda menyuruh Ali RA supaya menulis Muhammad bin Abdululllah, dan memadamkan perkataan Rasulullah. Ali enggan memadamnya, lalu baginda memadamnya dengan tangannya sendiri… (Ar-Rahiq Al-Makhtum, ms 342-343)

Jelas sekali betapa Nabi SAW tidak bertegang menggunakan terma yang baginda yakin akan hakikatnya. Sebaliknya menerima cadangan musuh selagi mana tidak menafikan sepenuhnya kebenaran yang nyata.

IMAM MALIK RAHIMAHU-ALLAH BERLAPANG DADA DENGAN PERBEZAAN

Imam Malik rahimahu-Allah (W179H) berkata: Ketika Khalifah al-Mansur (W158H) berangkat menunaikan haji, beliau memanggilku bertemu dengannya. Aku pun datang mengadapnya. Kami berbincang tentang beberapa perkara. Beliau bertanya, aku menjawab. 

Beliau berkata: “Beta berazam untuk memerintah dengan menjadikan kitabmu ini, iaitu “Al-Muwatta’” sebagai dasar. Beta pegang satu naskhah. Kemudian beta akan hantar ke setiap negeri daripada negeri-negeri umat Islam satu naskhah. Dan beta perintahkan supaya mereka beramal dengan isi kandungannya dan tinggalkan selain daripadanya daripada ilmu-ilmu baharu. Sesungguhnya beta berpendapat asal ilmu ialah riwayat Ahli Madinah dan ilmu mereka.”

Aku berkata: “Wahai Amirul Mukminin, jangan lakukan. Sesungguhnya manusia telah disampaikan kepada mereka beberapa pendapat, mereka telah mendengar banyak hadis-hadis, mereka telah menerima pelbagai riwayat. Setiap kaum mengambil apa yang terlebih dahulu sampai kepada mereka. Mereka telah berpegang dan beramal dengannya. Jika dipaksa mereka tinggalkan apa yang telah mereka pegang, tentulah amat berat. Maka biarkanlah mereka berpegang dengan apa yang mereka telah pegang dan apa yang telah diplilih oleh rakyat setiap negeri untuk mereka pegang.

Khalifah berkata: “Demi umurka, jika engkau bersetuju dengan cadanganku, pasti beta perintahkan supaya dilaksanakannya.” (Al-Dhahabi, Siyar A’lam al-Nubala’).

Ma Syaa Allah! Betapa tingginya ilmu dan jauhnya pandangan Imam Malik. Khalifah mencadangkan untuk menjadikan kitab karangannya sebagai teks "undang-undang yang diikuti oleh seluruh rakyat, beliau menolaknya. Penyatuan umat bukan dengan dengan cara memaksa mereka mengikut satu aliran, satu pendapat daripada seorang imam. Sebaliknya penyataun adalah dengan meraikan kepelbagaian.

Dalam konteks ini, Imam Hasan al-Banna pernah berkata: kita bekerjasama dalam perkara yang kita persetujui, dan kita saling memaafkan dalam perkara yang kita perselisihkan. Ungkapan ini menggambarkan kefahaman beliau tentang tabiat dan fitrah manusia yang tidak boleh lari daripada berbeza pandangan. Justeru, memaksa mereka menerima satu pandangan tidak akan menatijahkan kesepakatan dan perpaduan, sebaliknya akan menjadi punca perpecahan dan pergaduhan yang tidak berkesudahan